Wednesday, July 31, 2013

LHV dan GHV - Dalam Bahasa Mudahnya..

Salah satu yang saya kesalkan sejak dulu dalam karir process engineer saya adalah saya tidak paham dengan definisi LHV (Lower Heating Value) dan HHV (Higher Heating Value), padahal setiap kali mengerjakan proyek gas processing, selalu ada spesifikasi ini terhadap produk yang dihasilkan.

Sampai beberapa tahun menjadi process engineer pun saya kerap kesulitan memahami apa sih definisi keduanya? 

Tapi jujur saja, kalau melihat definisi yang bertebaran di internet, saya yakin akan banyak engineer muda yang kesulitan memahaminya. Iya, nggak? 

Contohnya definisi di internet:

The higher heating value (also known as gross calorific value or gross energy) of a fuel is defined as the amount of heat released by a 
specified quantity (initially at 25°C) once it is combusted and the products have returned to a temperature of 25°C, which takes into 
account the latent heat of vaporization of water in the combustion products


The net or lower heating value is obtained by subtracting the latent heat of vaporization of the water vapor formed by the combustion

Tunjuk tangan siapa yang paham dengan definisi di atas?

Jika anda termasuk yang paham dengan definisi di atas, bersyukurlah. Anda termasuk the gifted person :)

Jika anda belum paham dengan definisi di atas, jangan khawatir, saya akan berusaha menjelaskannya disini dengan cara yang paling mudah.


Higher Heating Value

Sekarang bayangkan anda punya hidrokarbon : misalkan CxHy dengan suhu 25 C.

Lalu bayangkan dia dibakar dengan reaksi pembakaran:
CxHy + O2 ==> CO2 + H2O

Reaksi pembakaran akan menghasilkan panas, sebesar H1.

So, sekarang kita sudah punya produk pembakaran (CO2+H2O) dan nilai kalor yang dihasilkannya H1.

Lalu bayangkan produk pembakaran (CO2+H2O) dan H1 yang dihasilkan tadi digunakan untuk memanaskan sesuatu, sebuah Cold Fluid yang memiliki suhu 15 C. Mereka dikontakkan dalam sebuah heat exchanger.

Lalu anggaplah semua kalor H1 diserap oleh Cold Fluid tadi, sehingga Cold Fluid menjadi panas. 

Dan produk pembakaran (CO2+H2O) turun suhunya hingga kembali ke suhu awal CxHy, 25C

Karena kalor produk pembakaran (CO2+H2O) H1 sudah diserap oleh Cold Fluid, maka produk pembakaran (CO2+H2O) kehilangan panas, ditambah CO2 termasuk H2O semua terkondensasi.

Ini keywordnya: H2O terkondensasi

Jika fenomena ini terjadi, dimana kalor hasil pembakaran diabsorb dan semua produk pembakaran termasuk H2O terkondensasi, maka total H1 yang diserap cold fluid inilah yang disebut Higher Heating Value.



Lower Heating Value

Saya kutip lagi definisi di internet tentang Lower Heating Value:
The net or lower heating value is obtained by subtracting the latent heat of vaporization of the water vapor formed by the combustion

Bingung dengan definisi di internet tsb?

Oke begini. Silakan lihat kembali penjelasan Higher Heating Value di atas.

Hanya saja, ada 2 perbedaan:
1. H1 didinginkan hingga suhu 150 C
2. H2O hasil pembakaran tidak terkondensasi

Jadi ceritanya H2O ikut didinginkan, namun tetap dalam fasa uap. Tidak terkondensasi

Sehingga, ada sebagian komponen yang kalornya tidak diserap oleh Cold Fluid.

Sedikit tercerahkan sekarang?
Semoga pembaca - terutama junior engineers- yang tadinya belum paham, jadi paham. Atau setidaknya jadi sedikit lebih paham.

Any question & suggestion are very welcome!

Salam,
Gandi



Thursday, June 27, 2013

Kapan Vortex Breaker Dibutuhkan?

Just got a lesson learnt from dalam sebuah ongoing project yang saya kerjakan. 

A valuable one! 

Ada satu pertanyaan cukup sering terlontar oleh Process Engineer pemula seperti saya. Bahkan diforum-forum process engineering seperti chesources pun pernah ditanyakan.

Kapan kita butuh vortex breaker?

Jawaban yang saya temui di chesources adalah straight forward: Selalu pasang vortex breaker.

Well..Saya pribadi punya pendapat lain. 

Ada philosophy process engineering yang harus dipahami disitu dan menurut philosophy itu, mungkin Vortex breaker tidak perlu selalu dipasang.


The name says it all. Vortex Breaker berarti device untuk menghilangkan vortex.

Beberapa contoh vortex dapat dilihat di gambar berikut (http://www.pumpfundamentals.com)



Vortex sendiri terjadi karena kurang tingginya level liquid pada sebuah reservoir yang mengalirkan fluida ke tempat lain, yang mana fluida mengalir dari reservoir ke tempat lain karena adanya static head yang dimilikinya.

Key word: Level liquid yang kurang

Now, take a look at this system:



Dalam sebuah sistem di atas, resiko akhir jika terjadi vortex adalah terikutnya vapor yang berada di atas permukaan liquid ke suction pompa, sehingga mengakibatkan kerusakan impeller, lead to pump damage, lead to asset loss (and potential fire).

Hydraulic Institute dalam The Hydraulic Institute's Pump Intake Design ANSI/HI 9.8-1998 standard mencantumkan formula untuk menghitung minimum Submerge (S) ; yaitu ketinggian liquid minimum untuk mencegah terjadinya vortex sebagai:

S = D + 0.574Q / D^1.5

S = Submerge (inch)
D = Pipe ID (inch)
Q = Flowrate (USGPM)

Berdasarkan definisi Submerge (S) diatas, now, we have a simple rule:

Jika level liquid yang anda miliki > S; berarti vortex TIDAK akan terjadi.
Jika level liquid yang anda miliki < S; berarti vortex akan terjadi


Dalam mendesain pompa, process engineer biasanya menentukan nilai NPSHA berdasarkan level liquid tertentu, dan biasanya nilai tersebut juga dijadikan LSL (Level Switch Low) set point untuk mematikan pompa. 

Melihat fakta bahwa vortex tidak akan terjadi apabila minimum liquid level terjaga (sebesar nilai "S"), maka seharusnya vortex breaker tidak diperlukan jika settingan LSL lebih besar daripada nilai "S". 

Dalam bahasa mudahnya:
Pompa sudah stop sebelum vortex terbentuk. What's the point of providing Vortex Breaker?

However, tentu saja tetap menyediakan vortex breaker bukan hal yang buruk. Konservatif. Meskipun sebenarnya mubazir.

Namun, bagaimana jika ternyata LSL set point ternyata nilainya lebih kecil daripada nilai "S"?

Ada dua hal yang bisa dilakukan:
1. Menaikkan nilai LSL. Which means, dapat berimpact pada semakin besarnya kebutuhan untuk tinggi vessel dan berujung-ujung pada tidak ekonomis.

Atau..

2. Memasang vortex breaker, sehingga meskipun vortex terjadi, pompa telah terproteksi oleh Vortex breaker.

Sebenarnya ada satu cara lagi. Yaitu memasang Bellmouth di Intake pompa.
Tapi sepertinya lebih enak dibahas lain kali..

What do you think?











Monday, June 24, 2013

Return Line di Positive Displacement Pump

It's been a while. Semuanya karena saya sangat malas menulis sibuk akhir-akhir ini.

Anyway..


Sebagai process engineer, tentu pernah melihat P&ID seperti ini.




Sesuai judul postingan ini, pernah penasaran apa fungsi dari recycle line di discharge pompa Positive Displacement Pump di atas?

Minimum Flow?

Bukan. Karena ini adalah Positive Displacement (PD) Pump. Berbeda dengan centrifugal pump yang memiliki nilai minimum flow dan flow berubah sesuai sistem pressure, PD Pump merupakan constant flow device. Yang berarti pompa akan memberikan flow yang konstan, berapapun sistem pressure yang dihadapi. 
So, PD Pump tidak memerlukan Minimum Flow line sebagaimana centrifugal pump.

Control Flow?

Bisa jadi. Pembaca bisa merefer kembali ke tulisan saya sebelumnya tentang Cara Mengontrol Positive Displacement Pump disini
HOWEVER, melihat dari P&ID di atas, recycle line disini bukanlah sebagai flow control, karena disitu tidak ada sinyal dari Flowmeter yang terhubung ke Recycle Line, seperti seharusnya flowcontrol. Yang ada hanyalah interlock dari PSD di kedua valve, dimana logicnya adalah:
Jika PSD tertrigger => Valve 1 CLOSE ; Valve 2 OPEN.
This is clearly bukan flow control.

Jadi, fungsinya apa kalau begitu?

Ok. Fungsi utamanya adalah untuk mengantisipasi surge pressure.

Contoh case adalah sebagai berikut.

PD Pump yang sedang mentransfer water dari sebuah tangki menuju sumur injeksi yang berada di platform yang berbeda -yang dihubungkan dengan jumper line-mendapatkan sinyal PSD akibat low low pressure (PSLL) di sumur injeksi (karena ada leak di pipa dekat sumur injeksi), sehingga pompa harus stop. 

Action dari PSD ini adalah:
PD Pump stop;
V-1 di platform A akan menutup;
dan V-2 akan membuka



Contoh case di atas akan mengakibatkan surge pressure di downstream PD pump.
Gambar berikut adalah salah satu contoh surge pressure yang diakibatkan.



Surge pressure adalah fluktuasi tekanan. Dapat terjadi akibat sudden start dan sudden stop dari PD Pump. Fluktuasi tekanan, terutama di menit-menit awal pompa stop bisa cukup besar, dan bisa jadi melebihi tekanan MAWP pipa. Plus disana terjadi fluktuasi tekanan yang mengakibatkan cyclic operation di dalam pipa, sehingga pipa dapat fatigue dan terjadi failure di pipa (leak, rupture).

Keberadaan recycle line yang terbuka jika PD Pump stop akan merelease surge pressure dan akan menstabilkan pressure di pipa discharge pompa, sehingga peak dan cyclic pressure seperti diatas tidak terjadi atau setidaknya diminimise.

Ini seperti jika anda naik kendaraan, lalu berhenti tiba-tiba. What do you feel? Seperti itulah pengiasan surge pressure yang dialami perpipaan di downstream pompa jika stop tiba-tiba.

Of course, ada device lain pencegah surge pressure bernama Pulsation Dampener. Pulsation dampener juga berfungsi menstabilkan surge pressure, but in my personal opinion, pulsation dampener hanya sedikit membantu. Plus, failure rate pulsation dampener yang cukup tinggi, karena cushion yang berisi N2 di dalamnya sering dilaporkan pecah atau N2 nya sering leak. Saya akan tetap merekomendasikan pemasangan Recycle Line di downstream PD Pump.

Any other thougths? 






Monday, February 25, 2013

Low dan High Selector Control- Part 1


It’s been a while. Dan ini adalah postingan pertama saya di tahun 2013!

Sebagai Process Engineer, process control merupakan salah satu hal yang harus dipahami, karena process engineer adalah orang yang bertanggungjawab dalam mendesain sebuah control system sebuah plant, yang ditunjukkan dalam P&ID yang dibuatnya.

Tentu saja scope yang harus dipahami tidaklah semuanya, karena ilmu process control sendiri terlalu luas untuk seorang Process Engineer. Sebagai Process Engineer, yang harus dipahami hanyalah filosofi bagaimana sebuah control loop bekerja. Lupakan kd, ki dan parameter PID lainnya, karena itu sudah masuk di ranah Instrument/Control Engineer.

Salah satu sistem kontrol yang kerap membuat junior engineer –bahkan mid experience process engineer- kebingungan adalah control yang melibatkan low/high selector. Semoga tulisan kali ini dapat menghapus kebingungan para pembaca yang mencoba memahami bagaimana filosofi sebuah control system yang melibatkan high/low selector. 

However, untuk memudahkan pemahaman, saya akan buat tulisan ini dalam beberapa bagian. Dan ini adalah tulisan Part-1 dari High & Low selector. 

Don’t worry. I will explain it in a very easy way! ^^

Contoh yang baik untuk low selector adalah gambar berikut.





Sebuah reaktor batch pada saat start up harus disuplai steam dengan flowrate tertentu (katakanlah 100 m3/hr). Dengan alasan safety, pengisian steam dijaga agar tekanan reaktor tidak melebihi tekanan tertentu (katakanlah 10 bar).

Input steam dikontrol melalui sebuah control valve dengan sistem LOW SELECTOR controller, yang mana input dari low selector controller adalah berupa FC (Flow Control) dan PC (Pressure Control). FC mengontrol laju alir volumetrik steam, sedangkan PC mengatur pressure di dalam reaktor.

LOW SELECTOR berarti control valve (sebagai final element) akan memberikan bukaan berdasarkan nilai TERKECIL dari sebuah controller. Bingung? Coba perhatikan penjelasan berikut.

Saat start up, operator akan memasukkan set point FC dan 100 m3/hr dan memasukkan set point PC 10 bar.

Saat start up, karena tekanan di reaktor masih rendah (atmosferik), sedangkan set point PC adalah 10 bar, maka logic dari PC akan memerintahkan control valve untuk membuka 100%.

Sementara itu, FC diset di 100 m3/h. Katakanlah control valve diperintahkan untuk membuka 70% pada set point 100 t/h.

Maka sekarang controller memiliki 2 sinyal perintah yang akan dipilhnya : Bukaan 100% vs 70% ...


Ingat, bahwa ini adalah LOW SELECTOR. Dan LOW SELECTOR memilih nilai TERKECIL diantara dua atau lebih nilai input
Clue: LOW = KECIL


Tentu saja 70% lebih kecil. 

Karena LOW SELECTOR akan memilih perintah bukaan terkecil, yakni dalam hal ini 70%, maka pada awal start up, control valve akan membuka di 70%. Saat ini, flow takes all the control. Flow adalah master, pressure menjadi slave-nya.

Seiring berjalannya waktu, tekanan reaktor akan meningkat karena terus disuplai steam. Misalkan pressure telah mencapai 10 bar. Pada 10 bar, menurut si Pressure Controller, bukaan valve haruslah (let say) 20%, karena saat ini, jumlah steam sudah mulai harus dibatasi karena mulai mendekati set pointnya. Jika tidak, maka kemungkinan akan terjadi overpressure di dalam reaktor yang dapat menyebabkan reaktor meledak.

Sementara, karena input set point operator untuk flow tidak berubah (100 m3/hr), FC masih tetap memerintahkan control valve untuk membuka di 70%.


Again.. Maka saat ini controller menerima pilihan opening 20% vs 70%...
dan ini adalah LOW SELECTOR 

Kali ini controller akan memilih 20% sebagai nilai terkecil.

Maka, control valve akan mengambil perintah dari PC,karena output dari PC memberikan nilai bukaan terkecil. Kebalikan dari proses sebelumnya, pada saat ini, pressure akan take control. Pressure menjadi master, dan flow menjadi slave.

Semoga mencerahkan.

As always, any comments are highly appreciated. ^^

Salam
Gandi