Thursday, November 19, 2015

Apakah Control Valve Saya Masih Dapat Digunakan?

Oke pembaca, setelah 2 tahun blog ini tidak terupdate, karena berbagai macam alasan...mari kita mulai lagi!!

Pertanyaan sederhana. Jika anda memiliki sebuah control valve di fasilitas existing, yang setelah di cek datasheetnya memiliki data sebagai berikut:

Flow (min/max)  50 / 100 m3/hr
SG                       0.8
Pressure drop      3 bar @ min flow
                            0.5 bar @ max flow

Cv                        25 -126

Lalu, karena ada modifikasi di sistem anda, maka control  valve yang sama harus menghandle flow sebesar 80 m3/hr dengan required pressure drop 4 bar. Apakah control valve yang sama  masih dapat digunakan? Atau haruskah control valve diganti?

Barangkali ada yang menjawab : Control valve harus diganti, karena kebutuhan pressure drop (4 bar) berada di luar pressure drop yang tertera di datasheet (0.5-3 bar).

Well...Jangan buru-buru menyimpulkan!

Karakteristik kunci sebuah kontrol valve ditunjukkan oleh nilai Cv-nya. Secara simple, Cv sebuah valve diformulasikan dengan:

Cv = Q sqrt (SG/DP)

Dimana:
Q = volumetric flowrate
SG = Specific gravity
DP = Pressure Drop

Kelihatan dari formulanya, Cv mencerminkan seluruh karakteristik umum yang mempengaruhi valve, yaitu flow, SG dan pressure drop.
Cv juga berbanding lurus dengan bukaan valve, meskipun Cv bukan berarti bukaan valve. Lihat bahwa Cv berbanding terbalik dengan akar kuadrat pressure drop (DP)? Semakin kecil pressure drop, itu artinya Cv semakin besar, artinya, bukaan valve semakin lebar...


Kembali ke persoalan,
Jika ingin melihat apakah sebuah control valve masih dapat menghandle sebuah kondisi proses baru, yang harus di cek adalah Cvnya.
Untuk kasus diatas, dengan flow 80 m3/hr, pressure drop 4 bar dan asumsi fluida yang dihandle adalah sama seperti sebelumnya (SG yang sama), dengan formula perhitungan Cv diatas, maka diperoleh nilai Cv 36.

Karena control valve existing memiliki range Cv 25-126, nilai Cv yang baru berada di dalam range Cv control valve existing. Sehingga itu artinya...control valve masih cukup dan tidak perlu diganti!

Secara physical, ini berarti nilai Cv baru yang dibutuhkan oleh control valve masih berada didalam range controllability si existing control valve. Artinya, control valve masih mampu untuk menthrottling hingga bukaan tertentu untuk mencapai nilai Cv 36. Tentu saja, nilai Cv tersebut akan menghasilkan flowrate dan pressure drop yang baru (yaitu dalam kasus ini 80 m3/hr dan 4 bar).

Dengan kata lain, misalkan nilai kebutuhan Cv yang baru adalah 130, yang mana nilai ini berada di luar range controllability existing control valve Cv : 25-126.
Artinya, control valve existing dituntut untuk membuka lebih besar diatas kemampuannya. Sehingga, jika Cv yang dibutuhkan adalah 130, maka control valve existing harus diganti.

Make sense..?


Wednesday, July 31, 2013

LHV dan GHV - Dalam Bahasa Mudahnya..

Salah satu yang saya kesalkan sejak dulu dalam karir process engineer saya adalah saya tidak paham dengan definisi LHV (Lower Heating Value) dan HHV (Higher Heating Value), padahal setiap kali mengerjakan proyek gas processing, selalu ada spesifikasi ini terhadap produk yang dihasilkan.

Sampai beberapa tahun menjadi process engineer pun saya kerap kesulitan memahami apa sih definisi keduanya? 

Tapi jujur saja, kalau melihat definisi yang bertebaran di internet, saya yakin akan banyak engineer muda yang kesulitan memahaminya. Iya, nggak? 

Contohnya definisi di internet:

The higher heating value (also known as gross calorific value or gross energy) of a fuel is defined as the amount of heat released by a 
specified quantity (initially at 25°C) once it is combusted and the products have returned to a temperature of 25°C, which takes into 
account the latent heat of vaporization of water in the combustion products


The net or lower heating value is obtained by subtracting the latent heat of vaporization of the water vapor formed by the combustion

Tunjuk tangan siapa yang paham dengan definisi di atas?

Jika anda termasuk yang paham dengan definisi di atas, bersyukurlah. Anda termasuk the gifted person :)

Jika anda belum paham dengan definisi di atas, jangan khawatir, saya akan berusaha menjelaskannya disini dengan cara yang paling mudah.


Higher Heating Value

Sekarang bayangkan anda punya hidrokarbon : misalkan CxHy dengan suhu 25 C.

Lalu bayangkan dia dibakar dengan reaksi pembakaran:
CxHy + O2 ==> CO2 + H2O

Reaksi pembakaran akan menghasilkan panas, sebesar H1.

So, sekarang kita sudah punya produk pembakaran (CO2+H2O) dan nilai kalor yang dihasilkannya H1.

Lalu bayangkan produk pembakaran (CO2+H2O) dan H1 yang dihasilkan tadi digunakan untuk memanaskan sesuatu, sebuah Cold Fluid yang memiliki suhu 15 C. Mereka dikontakkan dalam sebuah heat exchanger.

Lalu anggaplah semua kalor H1 diserap oleh Cold Fluid tadi, sehingga Cold Fluid menjadi panas. 

Dan produk pembakaran (CO2+H2O) turun suhunya hingga kembali ke suhu awal CxHy, 25C

Karena kalor produk pembakaran (CO2+H2O) H1 sudah diserap oleh Cold Fluid, maka produk pembakaran (CO2+H2O) kehilangan panas, ditambah CO2 termasuk H2O semua terkondensasi.

Ini keywordnya: H2O terkondensasi

Jika fenomena ini terjadi, dimana kalor hasil pembakaran diabsorb dan semua produk pembakaran termasuk H2O terkondensasi, maka total H1 yang diserap cold fluid inilah yang disebut Higher Heating Value.



Lower Heating Value

Saya kutip lagi definisi di internet tentang Lower Heating Value:
The net or lower heating value is obtained by subtracting the latent heat of vaporization of the water vapor formed by the combustion

Bingung dengan definisi di internet tsb?

Oke begini. Silakan lihat kembali penjelasan Higher Heating Value di atas.

Hanya saja, ada 2 perbedaan:
1. H1 didinginkan hingga suhu 150 C
2. H2O hasil pembakaran tidak terkondensasi

Jadi ceritanya H2O ikut didinginkan, namun tetap dalam fasa uap. Tidak terkondensasi

Sehingga, ada sebagian komponen yang kalornya tidak diserap oleh Cold Fluid.

Sedikit tercerahkan sekarang?
Semoga pembaca - terutama junior engineers- yang tadinya belum paham, jadi paham. Atau setidaknya jadi sedikit lebih paham.

Any question & suggestion are very welcome!

Salam,
Gandi



Thursday, June 27, 2013

Kapan Vortex Breaker Dibutuhkan?

Just got a lesson learnt from dalam sebuah ongoing project yang saya kerjakan. 

A valuable one! 

Ada satu pertanyaan cukup sering terlontar oleh Process Engineer pemula seperti saya. Bahkan diforum-forum process engineering seperti chesources pun pernah ditanyakan.

Kapan kita butuh vortex breaker?

Jawaban yang saya temui di chesources adalah straight forward: Selalu pasang vortex breaker.

Well..Saya pribadi punya pendapat lain. 

Ada philosophy process engineering yang harus dipahami disitu dan menurut philosophy itu, mungkin Vortex breaker tidak perlu selalu dipasang.


The name says it all. Vortex Breaker berarti device untuk menghilangkan vortex.

Beberapa contoh vortex dapat dilihat di gambar berikut (http://www.pumpfundamentals.com)



Vortex sendiri terjadi karena kurang tingginya level liquid pada sebuah reservoir yang mengalirkan fluida ke tempat lain, yang mana fluida mengalir dari reservoir ke tempat lain karena adanya static head yang dimilikinya.

Key word: Level liquid yang kurang

Now, take a look at this system:



Dalam sebuah sistem di atas, resiko akhir jika terjadi vortex adalah terikutnya vapor yang berada di atas permukaan liquid ke suction pompa, sehingga mengakibatkan kerusakan impeller, lead to pump damage, lead to asset loss (and potential fire).

Hydraulic Institute dalam The Hydraulic Institute's Pump Intake Design ANSI/HI 9.8-1998 standard mencantumkan formula untuk menghitung minimum Submerge (S) ; yaitu ketinggian liquid minimum untuk mencegah terjadinya vortex sebagai:

S = D + 0.574Q / D^1.5

S = Submerge (inch)
D = Pipe ID (inch)
Q = Flowrate (USGPM)

Berdasarkan definisi Submerge (S) diatas, now, we have a simple rule:

Jika level liquid yang anda miliki > S; berarti vortex TIDAK akan terjadi.
Jika level liquid yang anda miliki < S; berarti vortex akan terjadi


Dalam mendesain pompa, process engineer biasanya menentukan nilai NPSHA berdasarkan level liquid tertentu, dan biasanya nilai tersebut juga dijadikan LSL (Level Switch Low) set point untuk mematikan pompa. 

Melihat fakta bahwa vortex tidak akan terjadi apabila minimum liquid level terjaga (sebesar nilai "S"), maka seharusnya vortex breaker tidak diperlukan jika settingan LSL lebih besar daripada nilai "S". 

Dalam bahasa mudahnya:
Pompa sudah stop sebelum vortex terbentuk. What's the point of providing Vortex Breaker?

However, tentu saja tetap menyediakan vortex breaker bukan hal yang buruk. Konservatif. Meskipun sebenarnya mubazir.

Namun, bagaimana jika ternyata LSL set point ternyata nilainya lebih kecil daripada nilai "S"?

Ada dua hal yang bisa dilakukan:
1. Menaikkan nilai LSL. Which means, dapat berimpact pada semakin besarnya kebutuhan untuk tinggi vessel dan berujung-ujung pada tidak ekonomis.

Atau..

2. Memasang vortex breaker, sehingga meskipun vortex terjadi, pompa telah terproteksi oleh Vortex breaker.

Sebenarnya ada satu cara lagi. Yaitu memasang Bellmouth di Intake pompa.
Tapi sepertinya lebih enak dibahas lain kali..

What do you think?











Monday, June 24, 2013

Return Line di Positive Displacement Pump

It's been a while. Semuanya karena saya sangat malas menulis sibuk akhir-akhir ini.

Anyway..


Sebagai process engineer, tentu pernah melihat P&ID seperti ini.




Sesuai judul postingan ini, pernah penasaran apa fungsi dari recycle line di discharge pompa Positive Displacement Pump di atas?

Minimum Flow?

Bukan. Karena ini adalah Positive Displacement (PD) Pump. Berbeda dengan centrifugal pump yang memiliki nilai minimum flow dan flow berubah sesuai sistem pressure, PD Pump merupakan constant flow device. Yang berarti pompa akan memberikan flow yang konstan, berapapun sistem pressure yang dihadapi. 
So, PD Pump tidak memerlukan Minimum Flow line sebagaimana centrifugal pump.

Control Flow?

Bisa jadi. Pembaca bisa merefer kembali ke tulisan saya sebelumnya tentang Cara Mengontrol Positive Displacement Pump disini
HOWEVER, melihat dari P&ID di atas, recycle line disini bukanlah sebagai flow control, karena disitu tidak ada sinyal dari Flowmeter yang terhubung ke Recycle Line, seperti seharusnya flowcontrol. Yang ada hanyalah interlock dari PSD di kedua valve, dimana logicnya adalah:
Jika PSD tertrigger => Valve 1 CLOSE ; Valve 2 OPEN.
This is clearly bukan flow control.

Jadi, fungsinya apa kalau begitu?

Ok. Fungsi utamanya adalah untuk mengantisipasi surge pressure.

Contoh case adalah sebagai berikut.

PD Pump yang sedang mentransfer water dari sebuah tangki menuju sumur injeksi yang berada di platform yang berbeda -yang dihubungkan dengan jumper line-mendapatkan sinyal PSD akibat low low pressure (PSLL) di sumur injeksi (karena ada leak di pipa dekat sumur injeksi), sehingga pompa harus stop. 

Action dari PSD ini adalah:
PD Pump stop;
V-1 di platform A akan menutup;
dan V-2 akan membuka



Contoh case di atas akan mengakibatkan surge pressure di downstream PD pump.
Gambar berikut adalah salah satu contoh surge pressure yang diakibatkan.



Surge pressure adalah fluktuasi tekanan. Dapat terjadi akibat sudden start dan sudden stop dari PD Pump. Fluktuasi tekanan, terutama di menit-menit awal pompa stop bisa cukup besar, dan bisa jadi melebihi tekanan MAWP pipa. Plus disana terjadi fluktuasi tekanan yang mengakibatkan cyclic operation di dalam pipa, sehingga pipa dapat fatigue dan terjadi failure di pipa (leak, rupture).

Keberadaan recycle line yang terbuka jika PD Pump stop akan merelease surge pressure dan akan menstabilkan pressure di pipa discharge pompa, sehingga peak dan cyclic pressure seperti diatas tidak terjadi atau setidaknya diminimise.

Ini seperti jika anda naik kendaraan, lalu berhenti tiba-tiba. What do you feel? Seperti itulah pengiasan surge pressure yang dialami perpipaan di downstream pompa jika stop tiba-tiba.

Of course, ada device lain pencegah surge pressure bernama Pulsation Dampener. Pulsation dampener juga berfungsi menstabilkan surge pressure, but in my personal opinion, pulsation dampener hanya sedikit membantu. Plus, failure rate pulsation dampener yang cukup tinggi, karena cushion yang berisi N2 di dalamnya sering dilaporkan pecah atau N2 nya sering leak. Saya akan tetap merekomendasikan pemasangan Recycle Line di downstream PD Pump.

Any other thougths? 






Monday, February 25, 2013

Low dan High Selector Control- Part 1


It’s been a while. Dan ini adalah postingan pertama saya di tahun 2013!

Sebagai Process Engineer, process control merupakan salah satu hal yang harus dipahami, karena process engineer adalah orang yang bertanggungjawab dalam mendesain sebuah control system sebuah plant, yang ditunjukkan dalam P&ID yang dibuatnya.

Tentu saja scope yang harus dipahami tidaklah semuanya, karena ilmu process control sendiri terlalu luas untuk seorang Process Engineer. Sebagai Process Engineer, yang harus dipahami hanyalah filosofi bagaimana sebuah control loop bekerja. Lupakan kd, ki dan parameter PID lainnya, karena itu sudah masuk di ranah Instrument/Control Engineer.

Salah satu sistem kontrol yang kerap membuat junior engineer –bahkan mid experience process engineer- kebingungan adalah control yang melibatkan low/high selector. Semoga tulisan kali ini dapat menghapus kebingungan para pembaca yang mencoba memahami bagaimana filosofi sebuah control system yang melibatkan high/low selector. 

However, untuk memudahkan pemahaman, saya akan buat tulisan ini dalam beberapa bagian. Dan ini adalah tulisan Part-1 dari High & Low selector. 

Don’t worry. I will explain it in a very easy way! ^^

Contoh yang baik untuk low selector adalah gambar berikut.





Sebuah reaktor batch pada saat start up harus disuplai steam dengan flowrate tertentu (katakanlah 100 m3/hr). Dengan alasan safety, pengisian steam dijaga agar tekanan reaktor tidak melebihi tekanan tertentu (katakanlah 10 bar).

Input steam dikontrol melalui sebuah control valve dengan sistem LOW SELECTOR controller, yang mana input dari low selector controller adalah berupa FC (Flow Control) dan PC (Pressure Control). FC mengontrol laju alir volumetrik steam, sedangkan PC mengatur pressure di dalam reaktor.

LOW SELECTOR berarti control valve (sebagai final element) akan memberikan bukaan berdasarkan nilai TERKECIL dari sebuah controller. Bingung? Coba perhatikan penjelasan berikut.

Saat start up, operator akan memasukkan set point FC dan 100 m3/hr dan memasukkan set point PC 10 bar.

Saat start up, karena tekanan di reaktor masih rendah (atmosferik), sedangkan set point PC adalah 10 bar, maka logic dari PC akan memerintahkan control valve untuk membuka 100%.

Sementara itu, FC diset di 100 m3/h. Katakanlah control valve diperintahkan untuk membuka 70% pada set point 100 t/h.

Maka sekarang controller memiliki 2 sinyal perintah yang akan dipilhnya : Bukaan 100% vs 70% ...


Ingat, bahwa ini adalah LOW SELECTOR. Dan LOW SELECTOR memilih nilai TERKECIL diantara dua atau lebih nilai input
Clue: LOW = KECIL


Tentu saja 70% lebih kecil. 

Karena LOW SELECTOR akan memilih perintah bukaan terkecil, yakni dalam hal ini 70%, maka pada awal start up, control valve akan membuka di 70%. Saat ini, flow takes all the control. Flow adalah master, pressure menjadi slave-nya.

Seiring berjalannya waktu, tekanan reaktor akan meningkat karena terus disuplai steam. Misalkan pressure telah mencapai 10 bar. Pada 10 bar, menurut si Pressure Controller, bukaan valve haruslah (let say) 20%, karena saat ini, jumlah steam sudah mulai harus dibatasi karena mulai mendekati set pointnya. Jika tidak, maka kemungkinan akan terjadi overpressure di dalam reaktor yang dapat menyebabkan reaktor meledak.

Sementara, karena input set point operator untuk flow tidak berubah (100 m3/hr), FC masih tetap memerintahkan control valve untuk membuka di 70%.


Again.. Maka saat ini controller menerima pilihan opening 20% vs 70%...
dan ini adalah LOW SELECTOR 

Kali ini controller akan memilih 20% sebagai nilai terkecil.

Maka, control valve akan mengambil perintah dari PC,karena output dari PC memberikan nilai bukaan terkecil. Kebalikan dari proses sebelumnya, pada saat ini, pressure akan take control. Pressure menjadi master, dan flow menjadi slave.

Semoga mencerahkan.

As always, any comments are highly appreciated. ^^

Salam
Gandi

Tuesday, December 18, 2012

Apa yang terjadi jika Diff Head Pump (Jauh) Lebih besar daripada Actual Diff Head Yang Dibutuhkan?


Jawabannya: Jika selisihnya sangat besar, pompa akan trip. How come?

Jika anda berpikir bahwa dengan menyediakan pompa dengan diff head yang lebih besar daripada req. diff head akan memberikan jaminan bahwa pompa anda akan running dalam segala kondisi, maka anda harus berpikir kembali.

Dalam suatu kasus, salah satu pembaca blog ini pernah bertanya dalam artian yang kira-kira begini.

“Pompa saya memiliki diff head 10 bar. Sedangkan tekanan di discharge pompa 3.5 bar. Kenapa pompa saya selalu trip?”

Jawabannya: tidak ada yang salah dengan pompa anda. Yang salah adalah system pressure anda. System pressure  yang dihadapi pompa anda saat ini jauh dibawah diff head pompa. Silakan lihat kurva pompa berikut.

                                                              Fig.1

Pompa akan selalu beroperasi di titik pertemuan antara system pressure dan kurva pompa. Seperti yang terlihat di kurva pompa diatas, diff head yang disediakan pada Best Efficiency Point (BEP) adalah 10 bar, dan minimum head pompa adalah 8 bar. Sedangkan system pressure adalah 3.5 bar. As you see, antara kurva pompa dan system pressure tidak saling berhubungan.

Kurva pompa memiliki batasan di sisi kanan, yang disebut dengan maximum continous flow. Jika pompa dioperasikan melewati titik ini, maka yang terjadi adalah:


1. Konsumsi power akan jauh meningkat (lihat hubungan antara flow dengan kurva power). Umumnya motor memiliki proteksi berupa motor untuk trip, jika power yang dikonsumsi melebihi batas high tertentu. Hal ini disediakan untuk mencegah motor terbakar karena overload. Dan karena system pressure adalah 3.5 bar, artinya pompa akan beroperasi melewati titik max cont flow-nya, out of curve! Sehingga motor akan trip, dan otomatis pompanya juga akan trip

2. Melihat ke kurva NPSHR , maka dengan system pressure yang rendah, NPSHR akan menjadi sangat tinggi. Jika NPSHA yang disediakan oleh engineer dilewati oleh NPSHR ini, maka kavitasi akan terjadi dan pompa anda akan rusak.

3. Vibrasi. Selain karena faktor kemungkinan kavitasi, hal ini juga dikarenakan pompa akan beroperasi jauh di atas BEP-nya. 

Ketiga faktor di atas cukup menjelaskan bahwa JIKA diff head pompa didesain jauh di atas system pressurenya, maka pompa tidak akan dapat run.

Pertanyaan selanjutnya:

Kalau sudah terlanjur terbeli pompanya, bagaimana cara membuat pompa dapat tetap run?


Well, Ada 3 hal yang dapat dilakukan:


  •        Prinsipnya adalah menaikkan  system pressure sehingga system curve berpotongan dengan kurva pompa. Menaikkan system pressure berarti menambah pressure drop di system perpipaan yang dihadapi pompa. Dapat dilakukan baik dengan penambahan Restriction oriffice (RO) atau menambah control valve.
          Dalam kasus di atas, jika ingin menambhakan RO atau control valve, maka  pressure drop yang harus diberikan oleh RO ataupun control valve adalah: 10 – 3.5 bar = 6.5 bar.


  •       Jika opsi pertama adalah menaikkan system curve, maka opsi kedua adalah menurunkan pump curve. Jika masih memungkinkan, mintalah ke vendor pompa untuk mendesign ulang pompanya berdasarkan system pressure yang baru. Namun, jika sudah terlanjur didesign dan sudah tidak dapat berubah lagi, anda dapat menurunkan curve pompa dengan cara menambahkan VSD (Variable Speed Drive). VSD akan membuat kurva pompa anda seperti ini
                                                                   Fig 2

Silakan mampir ke tulisan saya sebelumnya di sini untuk pembahasan tentang pengontrolan flow lewat VSD.

Hasilnya adalah kurva pompa akan bertemu dengan system pressure pada suatu titik. Yang operator nantinya harus lakukan hanyalah masukkan set point flow agar VSD mengkonversi flow yang diinginkan ke speed pompa.


  •          Cara terakhir,adalah dengan “mencekik” manual valve di discharge pompa. Mencekik (memperkecil bukaan valve) di discharge pompa akan menaikkan system pressure drop sehingga system pressurenya bertemu dengan kurva pompa. Murah meriah. Namun, metode ini memilki resiko:
a.   Siapapun dapat merubah bukaan valve di lapangan. Dan jika itu terjadi, pompa beresiko trip

b.    Jika ukuran valve sangat besar, akan sangat sulit melakukan throttling, kecuali jika disediakan MOV (Motorized Operated Valve) untuk memudahkan buka tutup valve.

Any other opinion? Why don’t you share with us.

Gandi
Process Engineer



Monday, November 19, 2012

Dip Pipe dan Hazard Listrik Statis


Posting kali ini terisnpirasi dari pertanyaan rekan Rochmadi di postingan saya sebelumnya (Fungsi-siphon-breaker-di-inlet-pipa).

Quote:
“Kenapa filling line (di sebuah tangki atmosferik) harus di letakkan di bawah LLL?”
Unquote

The question sounds simple. However, the answer seems not that simple
Seperti yang telah anda ketahui, bahwa konfigurasi pengisian tangki storage ada 2 macam.
  1. Top Filling
  2. Bottom Filling

Keduanya memiliki pros dan cons masing-masing. Namun, pada posting kali ini, saya ingin berfokus pada  membahas konfigurasi Top Filling terlebih dahulu.

Sebagai Process Engineer, tentunya tidak asing bagi anda bila melihat bahwa konfigurasi pengisian tangki menggunakan metode Top Filling yang biasanya –jika tidak selalu- adalah dengan menggunakan sebuah device bernama DIP PIPE.

Berikut adalah contoh dimana Dip Pipe diaplikasikan




Dip pipe ini pada dasarnya hanya sebuah pipa yang tercelup pada kedalaman tertentu di dalam tangki, untuk mengarahkan fluida pada kedalaman tersebut saat pengisian tangki. 

However, mungkin jarang yang mengetahui bahwa penggunaan dip pipe ini sangat erat kaitannya dengan safety, yaitu untuk mencegah terjadinya bahaya fire dan/atau explosion yang diakibatkan listrik statis.

How come?

Hazard listrik statis pada Oil & Gas Facility adalah salah satu hazard yang sering dioverlook oleh Process Engineer. Sebagai Process Engineer, selama anda mengikuti HAZOP, berapa kali potensi bahaya ini pernah dibahas? Dari 3 HAZOP dan 1 HAZID yang pernah saya ikuti, sama sekali bahaya fire akibat listrik statis tidak pernah tersentuh (mungkin berbeda dengan pembaca yang sudah sepuh.. ), sehingga, bagi saya, ini menjadi hal yang sangat perlu dan menarik untuk diperhatikan, mengingat risk dari hazard ini cukup berbahaya.

Percobaan sisir yang digesekkan ke rambut, dan kemudian dapat menarik serpihan kertas yang kita lakukan saat SMP dahulu menjelaskan bahwa listrik statis timbul diakibatkan karena adanya gesekan antara dua benda yang bermuatan dan kemudian dipisahkan. Saat dua objek bersentuhan, muatan pada permukaan kedua benda akan berusaha untuk saling mencapai kondisi keseimbangan, sehingga elektron pada objek yang satu dapat berpindah ke objek lain yang bersentuhan dengannya. Saat mereka terpisah, elektron yang sudah “terlanjur” terpisah akibat berusaha mencapai keadaan kesetimbangannya akan tetap berada pada objek yang terakhir ditempatinya. Akibatnya,objek yang kehilangan elektron akan cenderung bermuatan positif¸sedangkan objek yang menerima elektron akan bermuatan negatif. Jika muatan ini tidak dialirkan ke “ground”, maka muatan tersebut akan diam dan menjadi “statis” (Ini alasannya kenapa disebut listrik statis).Jika muatan listrik terus terakumulasi, objek tersebut akan memiliki cukup energi untuk melepaskan muatan listrik ini dalam bentuk spark ke objek yang memiliki muatan listrik lebih rendah daripada dirinya.

Dalam oil & gas facility, potensi bahaya listrik statis dapat terjadi. Hidrokarbon adalah fluida yang cenderung dianggap insulator karena muatan listriknya sangat sedikit, sehingga hidrokarbon sangat mudah menerima elektron dari benda yang dilaluinya, seperti pipa. 

Dan beberapa contoh peristiwa yang mengakibatkan terbentuknya listrik statis di oil & gas facility diantaranya:

  • Aliran pada pipa


Disebabkan karena hidrokarbon bersentuhan dengan pipa, lalu kemudian terpisahkan karena hidrokarbonnya mengalir, maka elektron pada pipa dapat ikut terbawa oleh hidrokarbon dan ikut terbawa ke downstream equipmentnya (i.e. storage tank).

  • Filter


Dikatakan hidrokarbon yang melalui filter dapat membawa muatan listrik 200 kali lebih banyak daripada muatan listrik yang dibawa hidrokarbon karena mengalir lewat pipa.
  • Agitasi

Pergesekan antara fluida dan agitator akan memberikan perpindahan elekktron yang cukup banyak. Thus, menghasilkan muatan listrik pada hidrokarbon. Diperparah karena hidrokarbon yang masuk ke dalam tangki telah bermuatan listrik akibat gesekan dengan pipa dan filter di upstream tangki, sehingga gesekan antar hidrokarbon akibat turbulensi di dalam tangki pun akan menimbulkan lebih banyak listrik statis.
  • Filling

Splashing saat hidrokarbon difilling di atas permukaan fluida di dalam tangki mengakibatkan turbulensi dan mengakibatkan pergesekan antar hidrokarbon, dan antara hidrokarbon dan dinding tangki, sehingga akan mengakibatkan berpindahnya elektron pada hidrokarbon dan menimbulkan lebih banyak listrik statis.


Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa akumulasi muatan listrik pada objek (dalam hal ini hdrokarbon), dapat mengakibatkan spark. Kata orang pinter yang menyusun NFPA 77, hanya dibutuhkan perpindahan 1 elektron dari setiap 500 atom hidrokarbon untuk menghasilkan potensi spark.

Spark yang dihasilkan ini, jika bertemu campuran hidrokarbon + udara dengan kadar hidrokarbon yang berada di rentang Lower Flammable Limit (LFL) dan Upper Flammable Limit (UFL), surely akan mengakibatkan fire dan bahkan explosion dalam sebuah oil facility.

Bagaimana cara mencegahnya?

Di sinilah fungsi DIP PIPE itu.

Salah satu metode untuk mencegahnya adalah dengan menggunakan DIP PIPE. Dip Pipe membuat fluida dialirkan ke bagian bawah tangki,  sehingga menghilangkan potensi splashing dipermukaan fluida di dalam tangki pada saat filling. 

NFPA 77 bagian 8.5.2.1 memberikan guidance bahwa panjang dip pipe adalah tercelup /  berada di bawah  liquid level sedalam :
  • 2 x Pipe diameter, atau
  • 0.6 m
Whichever is less.

Angka di atas diyakini meminimalisir splashing, agitasi dan turbulensi pada saat filling, begitu kata orang pinter penyusun NFPA 77.

However, NFPA 77 tidak menyatakan liquid level yang mana yang dijadikan acuan (apakah HHLL, HLL, NLL, LLL, LLLL). Tapi, tebakan saya adalah NLL.

Jadi, untuk menjawab pertanyaan rekan Rochmadi :”“Kenapa filling line harus di letakkan di bawah LLL?”;

Jawabannya adalah -sesuai penjelasan di atas- yaitu untuk mereduksi potensi bahaya listrik statis saat filling tangki. Dengan koreksi sedikit, bahwa filling tidaklah mesti di bawah LLL, karena bisa jadi angka 2 x Pipe diameter atau 0.6 m dibawah NLL yang direkomendasikan oleh NFPA masih berada di atas LLL tangki.

Tindakan lainnya yang direkomendasikan oleh NFPA 77 untuk meminimalisir terjadinya  hazard listrik statis adalah mengurangi velocity fluida saat masuk ke tangki menjadi 1 m/s. Hal ini diyakini dapat mereduksi splashing dan turbulensi saat filling. This can be done- of course- by addition of enlarger at inlet tank nozle.

Tentu saja, metode di atas tidaklah sepenuhnya menghilangkan bahaya fire yang diakibatkan listrik statis. Sebagai Process Engineer, it is our duty to design our plant safely.

Hazard fire akibat listrik statis hanyalah akan terjadi kadar hidrokarbon pada campuran udara dan hidrokarbon berada di rentang LFL-UFL. Hal ini dapat dicegah dengan penggunaan blanket gas (i.e. inert gas / fuel gas) , sehingga hidrokarbon dipastikan tidak terekspos dengan udara, sehingga ignitable mixture (hidrokarbon + udara) tidak terjadi.

Selanjutnya, jika di upstream tangki terdapat filter, maka dianjurkan memberikan jarak sekitar 30 detik antara filter dan tangki untuk memberikan relaxation time. Orang orang pinter yang menyusun NFPA 77 percaya bahwa 30 detik ini akan mengakibatkan listrik statis yang dihasilkan akibat gesekan fluida dan media filter akan berkurang secara signifikan.

Selain itu, hal terpenting, pemasangan grounding pada tangki akan memberi tingkat keamanan yang lebih baik. Grounding akan mengakibatkan semua muatan listrik di dalam fluida akan mengalir ke ground, dan semua objek berada pada potensial listrik 0 (zero), sehingga potensi spark dan ujung ujungnya fire akibat listrik statis tidak terjadi.

Injeksi antistatis chemical juga dapat meng-enhance tingkat safety. Buat saya, terutama jika di upstream tangki ada filter, saya akan merekomendasikan untuk penginjeksian chemical ini. 


Any other thoughts? Why don’t you share with us, as always.


Regards,
Gandi Iswara